Guilt Trip, Sebuah Teknik Manipulasi Hati & Pikiran yang Biasa Dilakukan Orang Baik

Pernah dengar tentang Guilt Trip?  Kalau menurut definisi di website Pshycology Today sih, guilt trip itu dijelaskan sebagai:

A form of verbal or nonverbal communication in which a guilt inducer tries to induce guilty feelings in a target in an effort to control their behavior. As such, guilt trips are a clear form of psychological manipulation and coercion.

Saya kurang tahu apakah frase ini punya padanan bahasa Indonesia, tapi kalau saya harus menjelaskan dalam Bahasa kira-kira jadinya seperti ini:

Tindakan atau ucapan yang tujuannya membuat orang lain merasa bersalah (atau mengalami perasaan negatif lainnya) supaya mereka melakukan hal yang diinginkan oleh si pelaku.

Contoh guilt trip itu kira-kira seperti ini:

A: Eh, gw mau bikin masakan tapi bahannya kurang nih. Beliin dong.

B: Yah, gw udah ada janji. Buru-buru gak? Gw beliin nanti ya?

A: Kok gitu, ini kan masakannya buat kita juga. Udah gitu gw yang masakin. Lo kan tinggal beli bahan yang kurang doang. Masa gitu aja juga gak mau bantu sih?

B: Ya udah deh, gw beli sekarang.

Buat saya, guilt trip adalah kelakuan yang sangat menyebalkan. Kenapa harus membuat orang merasa bersalah demi menyuruh mereka melakukan sesuatu? Ada banyak cara yang, menurut pendapat pribadi saya, lebih sopan dan lebih baik.

Saya sendiri kurang paham, apakah orang yang melakukan guilt trip itu sadar atau tidak saat melakukannya. Yang saya tahu, pelaku biasanya kurang paham tentang efek dari guilt trip (ya kalau pelaku tidak sadar saat mereka melakukan guilt trip wajarlah saat mereka pun tidak paham efeknya). Pelaku guilt trip biasanya lebih fokus pada ‘gimana supaya korban melakukan apa yang gw mau’ dan melupakan ‘apa ya efek dari guilt trip ini ke korban?’. Padahal efeknya bisa mempengaruhi hubungan antara si pelaku dan korban dan menimbulkan emosi negatif atau perasaan tidak puas di dalam hati si korban.

Menurut penelitian, guilt trip bisa ‘sukses’ kalau pelaku dan korban memiliki hubungan yang dekat. Berarti kemungkinan besar pelaku guilt trip adalah orang-orang di sekitar kita. Keluarga, teman, saudara, dan lainnya. Sayang kan kalau hubungan yang indah rusak hanya karena pelaku guilt trip menggunakan cara yang salah demi menggapai apa yang mereka inginkan. Selain itu, efek dari guilt trip di korban berlangsung lebih panjang daripada hasil yang didapat si pelaku.

Buat saya guilt trip itu adalah sikap yang bikin ‘turn off’. Saya sangat sulit menghormati orang yang menggunakan guilt trip sebagai alat untuk mencapai keinginan mereka. Sayangnya, dari dulu saya selalu ketemu orang yang, katanya, baik menggunakan cara ini untuk membuat si korban melakukan sesuatu yang pelaku inginkan. Kalau sekali atau dua kali saya menangkap ‘orang baik’ ini berusaha untuk ‘guilt tripping’ agar saya melakukan sesuatu, rasa hormat saya bisa langsung luntur mendadak. Bagi saya pribadi, orang yang benar-benar baik tidak akan menggunakan cara ‘kotor’ seperti guilt trip untuk mencapai tujuan.

Apa mungkin pelaku, yang katanya orang baik ini, melakukan guilt trip karena mereka merasa cara seperti guilt trip lebih baik dibanding cara lain. Bisa jadi mereka berpikir, daripada dengan koersi, guilt trip adalah cara yang lebih manjur untuk membuat orang melakukan sesuatu. Padahal buat saya sih keduanya tidak ada bedanya. Cara penyampaian guilt trip memang lebih halus, tapi sama seperti serigala berbulu domba, yang halus ya cuma bulu luarnya saja.

Guilt trip, menurut pendapat saya, adalah sebuah teknik manipulasi yang harus diketahui dan dihindari sebisa mungkin. Do not, i repeat, DO NOT try to guilt trip people just to get what you want. Bagi yang belum pernah merasakan, saya harap sih kalian tidak harus merasakannya. Soalnya perasaan yang didapat korban itu luar biasa mengesalkan dan membuat tertekan.

I like to travel, i do. But if there’s one trip that i hate so much, it’s guilt trip.

Leave a comment